Site icon Rumpi Kota

Barca vs Inter: Ketika Efektivitas Mengalahkan Keangkuhan Sepak Bola Modern

Komen netizen barca vs inter

Kampungan!

Mengamati sepak bola sudah tidak lagi mengasyikkan sejak virus diskredit dan diskriminasi lebih sering menghantui analisis, ketimbang fakta pertandingan itu sendiri.

Apa yang salah dengan sepak bola bertahan? Mengapa strategi bertahan sering dianggap “salah, hina, rendah, jadul, dan sejenisnya”, hanya karena sebagian orang merasa bahwa gaya bermain menyerang lebih unggul? Ini adalah bentuk keangkuhan dalam berpikir.

Bahkan ketika disuguhkan fakta sepak bola seperti pertandingan Barca vs Inter di semifinal Liga Champions 2025 semalam, pola pikir kampungan dan angkuh itu masih saja dipertontonkan.

Kalau Anda benar-benar pengamat, bukan hanya fans buta, maka Anda seharusnya menganalisis pertandingan itu dari satu kacamata besar: efektivitas.

Artinya, jika menyerang ternyata efektif dan menghasilkan banyak peluang, tentu itu patut diapresiasi. Begitu pula saat tim memilih untuk bertahan. Jika serangan lawan tidak efektif, bahkan hanya berkutat pada satu-dua pemain saja, maka strategi bertahan itu pun pantas dihormati.

Satu hal yang pasti, bermain tanpa bola itu lebih sulit ketimbang bermain dengan bola. Tanpa bola, sebuah tim harus bermain secara kolektif: kompak, terkoordinasi, menjaga ruang, mengatur garis pertahanan, dan disiplin.

Sebaliknya, saat bermain dengan bola, keterampilan individu saja bisa menjadi pembeda. Bahkan, tanpa tim yang solid pun seorang pemain bisa mengangkat performa tim—itulah asal muasal istilah “digendong tim”.

Inilah sebabnya mengapa sepak bola menyerang ala Pep Guardiola dan sejenisnya memerlukan minimal satu pemain kelas dunia. Tanpa keterampilan individu, gaya bermain dominan akan kehilangan daya dobraknya.

Dari sini kita bisa mengerti mengapa tim “yang dianggap inferior” sering memilih bertahan. Bukan karena strategi mereka lemah, tetapi karena mereka tidak memiliki pemain TOP Tier. Maka mereka bermain sebagai sebuah unit, dengan kekuatan kolektif.

Kombinasi paling mengerikan dalam sepak bola adalah tim yang memiliki sistem bertahan kuat sekaligus pemain TOP Tier. Sejauh ini, saya melihat hal tersebut terjadi di Real Madrid era Ancelotti dan Zidane. Mereka memainkan sepak bola bergaya Italia, namun didukung pemain dengan kualitas individu kelas dunia.

Kembali ke pertandingan Barca vs Inter semalam—singkat saja: Inter adalah pemenangnya. Mereka datang sebagai sebuah tim, bukan sebagai kumpulan individu. Bahkan secara kualitas, pemain Inter jauh di bawah pemain Barca—banyak yang sudah tua atau bahkan pemain buangan.

Namun dunia menyaksikan: mereka bermain sebagai tim, demi mencapai satu tujuan utama: efektivitas.

Exit mobile version