RumpiKotaCom – Kesuksesan film animasi Jumbo telah menghadirkan harapan baru dalam lanskap industri hiburan Indonesia, khususnya dalam konteks pendidikan karakter dan moral. Di tengah maraknya tayangan hiburan yang cenderung tidak mendidik, bahkan merusak nilai-nilai moral masyarakat, hadirnya Jumbo sebagai sebuah karya yang mengedepankan pesan moral menjadi semacam oase di tengah gurun konten yang miskin nilai. Hal ini menunjukkan bahwa hiburan yang edukatif dan sarat pesan moral tetap memiliki tempat di hati masyarakat, asalkan dikemas dengan apik dan relevan.
Fenomena ini juga mencerminkan pentingnya membangun sebuah ekosistem kebaikan, yakni suatu lingkungan yang mendukung terciptanya dan berkembangnya konten-konten positif yang membangun karakter bangsa. Dalam konteks industri hiburan, ekosistem ini mencakup berbagai aspek, seperti keberpihakan produsen konten terhadap nilai-nilai kebaikan, dukungan regulatif dari pemerintah, partisipasi aktif masyarakat dalam memilih tontonan yang berkualitas, serta keterlibatan dunia pendidikan dalam menjadikan media sebagai bagian dari strategi pembelajaran karakter.
Namun, dalam era kapitalisme dan liberalisasi ekonomi yang sangat kompetitif ini, keberhasilan suatu produk di pasar menjadi tolak ukur utama untuk keberlanjutan dan eksistensinya. Dalam paradigma industri saat ini, aspek komersial sering kali menjadi pertimbangan utama dalam proses produksi dan distribusi. Maka tidak heran jika film-film yang cenderung merusak, namun berhasil meraih pasar, dapat terus diproduksi dan mendapatkan tempat yang luas dalam ruang-ruang konsumsi publik. Ini adalah bukti bahwa keberlangsungan suatu program atau produk sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar dan dukungan sistem di sekitarnya.
Oleh karena itu, apabila kita menginginkan keberlangsungan film-film yang membawa nilai-nilai kebaikan, seperti Jumbo, maka kita perlu membentuk dan memperkuat ekosistem yang mendukung konten-konten semacam itu. Ini tidak hanya tugas dari para pembuat film, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa—mulai dari konsumen, lembaga pendidikan, media, hingga pemerintah. Semua pihak harus menjadi bagian dari “support system” yang memungkinkan konten edukatif dan bermoral tinggi dapat tumbuh, bersaing, dan bertahan.
Sebagai contoh konkret, apabila masyarakat secara aktif menonton, merekomendasikan, dan membicarakan film-film bermuatan edukatif di media sosial, maka algoritma platform digital pun akan memberikan eksposur yang lebih besar pada konten tersebut. Demikian pula, jika institusi pendidikan menjadikan film-film seperti Jumbo sebagai bahan ajar atau alat bantu pembelajaran karakter di sekolah, maka film tersebut tidak hanya menjadi konsumsi hiburan, melainkan juga sarana edukasi yang strategis.
Singkatnya, kebaikan tidak akan bertahan dalam sistem yang tidak mendukungnya. Seperti benih yang membutuhkan tanah subur untuk tumbuh, konten positif pun membutuhkan lingkungan yang mendukung agar dapat terus berkembang. Maka, keberadaan ekosistem kebaikan menjadi syarat mutlak bagi kesinambungan produksi karya-karya yang mampu membangun moral, karakter, dan kebajikan dalam masyarakat kita.