RumpiKotaCom – Pada awal 2025, dunia maya Indonesia diramaikan oleh kemunculan tagar viral #KaburAjaDulu, sebuah frasa yang merepresentasikan keinginan generasi muda Indonesia, khususnya para profesional dan mahasiswa, untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Tagar ini tidak hanya menjadi topik hangat di media sosial seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok, tetapi juga memicu diskusi serius di berbagai media massa, forum akademis, dan kalangan pemerintah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Latar Belakang Sosial dan Ekonomi
Fenomena ini muncul dari akumulasi ketidakpuasan terhadap berbagai aspek kehidupan di dalam negeri. Banyak anak muda yang merasa terjebak dalam situasi stagnan: biaya pendidikan yang terus meningkat, persaingan kerja yang ketat, gaji yang tidak sebanding dengan beban kerja, serta minimnya apresiasi terhadap keterampilan dan kreativitas. Tak jarang juga tekanan sosial dan budaya turut memperparah kondisi, seperti tuntutan untuk menikah muda, budaya kerja hierarkis yang kaku, hingga hubungan kerja yang toksik.

Tagar #KaburAjaDulu digunakan sebagai sarana ekspresi dan solidaritas. Banyak netizen membagikan kisah perjuangan mereka untuk mendapatkan beasiswa luar negeri, tips mencari kerja di luar negeri, hingga tutorial mengurus visa atau paspor. Bahkan muncul komunitas daring baru yang saling membantu dalam proses “kabur” ini, seperti grup Telegram dan forum Reddit yang fokus pada informasi peluang di Eropa, Kanada, Jepang, dan Australia.

Media Sosial Sebagai Sarana Mobilisasi dan Dukungan
Media sosial menjadi panggung utama berkembangnya tagar ini. Video-video TikTok yang menampilkan kisah sukses “kabur” ke luar negeri—baik untuk kerja maupun kuliah—mendapatkan jutaan penonton. Di sisi lain, banyak juga yang mengunggah cerita kegagalan, penipuan visa, atau pengalaman diskriminasi di luar negeri, sebagai bentuk peringatan bagi yang lain.

Namun, alih-alih menyurutkan semangat, narasi-narasi tersebut justru menambah kekuatan gerakan ini: menunjukkan bahwa meski tidak mudah, kabur adalah pilihan yang dianggap lebih baik dibanding bertahan dalam sistem yang stagnan.

️ Reaksi Masyarakat dan Tokoh Publik
Fenomena ini menuai pro dan kontra. Sebagian melihatnya sebagai bentuk brain drain—hilangnya sumber daya manusia berkualitas dari Indonesia—yang bisa merugikan negara dalam jangka panjang. Namun, tokoh publik seperti Anies Baswedan menegaskan bahwa bekerja atau belajar di luar negeri bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap bangsa.

“Kalau ada anak muda yang bisa berkembang di luar negeri, mendapatkan pengalaman, jaringan, dan pendidikan berkualitas, itu harus kita dukung. Karena pada waktunya, mereka akan kembali dan membawa kontribusi besar,” ujar Anies dalam sebuah wawancara.
Pandangan ini juga diamini oleh banyak diaspora Indonesia yang aktif mempromosikan program-program kolaborasi riset, inkubasi startup, dan pelatihan karier dari luar negeri untuk komunitas di tanah air.

pendidikan berkualitas, itu harus kita dukung. Karena pada waktunya, mereka akan kembali dan membawa kontribusi besar,” ujar Anies dalam sebuah wawancara.

Pandangan ini juga diamini oleh banyak diaspora Indonesia yang aktif mempromosikan program-program kolaborasi riset, inkubasi startup, dan pelatihan karier dari luar negeri untuk komunitas di tanah air.

️ Tanggapan Pemerintah
Menteri Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pemerintah menyadari adanya fenomena #KaburAjaDulu dan menganggapnya sebagai sinyal penting untuk segera memperbaiki kualitas ekosistem ketenagakerjaan. Pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk menggunakan jalur legal jika ingin bekerja atau belajar di luar negeri.

Dampak Terhadap Dunia Karier dan Pendidikan
Dalam jangka pendek, fenomena ini menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap pelatihan bahasa asing, persiapan IELTS/TOEFL, serta program akselerasi skill digital dan teknologi. Banyak lembaga swasta menawarkan program “kabur-ready” yang menjanjikan kesiapan kerja internasional dalam hitungan bulan.

Sementara itu, dunia pendidikan tinggi Indonesia ikut terdampak. Beberapa universitas kini mulai menawarkan program gelar ganda (dual degree) dengan universitas asing, agar bisa tetap bersaing di tengah tren globalisasi karier.