oleh : Rahmatul Husni
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Kritik terhadap film Jumbo belakangan ramai diperbincangkan. Namun, yang menarik perhatian saya bukan semata-mata soal filmnya, melainkan bagaimana publik merespons perbedaan pandangan tentangnya. Bukan kritik terhadap karya yang jadi sorotan, melainkan bagaimana kritik itu dihadapi: dengan serangan, kecurigaan, atau bahkan hujatan.
Di tengah dunia yang katanya serba canggih, rupanya cara kita berpikir belum banyak berubah. Masih stagnan di pola lama:
Jika mengkritik, berarti membenci.
Jika berbeda pandangan, berarti memusuhi.
Jika tidak menyukai, maka pasti salah.
Cara berpikir semacam ini menggambarkan kemunduran nalar di tengah banjir informasi. Literasi kita memang meningkat secara kuantitatif—banyak yang membaca, menonton, dan mengakses informasi—tetapi secara kualitatif kita masih tertinggal jauh. Kita belum mampu mencerna, menimbang, dan menyikapi informasi secara sehat dan dewasa.
Taksonomi Bloom dan Krisis Berpikir Kritis
Dalam dunia pendidikan, Taksonomi Bloom sering digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir seseorang. Ada enam tingkatan berpikir manusia:
-
C1 – Remembering: sekadar tahu atau hafal.
-
C2 – Understanding: memahami dan bisa menjelaskan ulang.
-
C3 – Applying: mampu menerapkan dalam konteks berbeda.
-
C4 – Analyzing: mengurai struktur dan relasi sebab-akibat.
-
C5 – Evaluating: menilai dan membandingkan secara objektif.
-
C6 – Creating: mencipta gagasan baru melalui refleksi.
Sayangnya, banyak dari kita masih terjebak di C1: hanya mengenali informasi di permukaan tanpa mengupas makna di baliknya. Ketika ada yang menyampaikan pandangan berbeda, reaksi spontan muncul: menyerang pribadi, bukan membedah argumen. Kita seperti masih hidup dalam logika biner: kalau bukan A, maka pasti B. Dunia dipersempit menjadi hitam-putih, padahal kenyataan jauh lebih kompleks.
Islam dan Budaya Berpikir: Antara Akal dan Wahyu
Dalam tradisi keilmuan Islam, berpikir bukan hanya soal kognisi, melainkan juga ibadah. Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk tafakkur (merenung), tadabbur (menggali makna), dan tazakkur (mengambil pelajaran). Dalam Islam, akal adalah alat untuk memahami kebenaran, bukan sumber kebenaran itu sendiri. Akal harus tunduk pada wahyu.
Berpikir dalam Islam bukan untuk membuktikan siapa paling pintar, tetapi untuk mengenali kebenaran dan memperbaiki diri. Berpikir bukan ajang adu ego, melainkan jalan menuju ridha Ilahi. Maka, dalam menyikapi film, seni, atau budaya populer, sikap kritis perlu dibingkai dengan nilai-nilai wahyu: apakah konten tersebut menjaga fitrah, memperkuat tauhid, dan membentuk akhlak?
Islam, Hiburan, dan Etika Konsumsi Budaya Populer
Islam tidak memusuhi hiburan. Dalam berbagai riwayat, Rasulullah SAW membiarkan hiburan hadir dalam kehidupan umat. Namun, Islam juga tidak menyerahkan hiburan pada ruang bebas nilai. Hiburan harus memenuhi tiga etika:
-
Menjaga fitrah – tidak mendorong syahwat atau kekerasan.
-
Menguatkan tauhid – tidak menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan iman.
-
Membentuk akhlak – mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Maka pertanyaan yang penting bukan sekadar: “Apakah saya suka film ini?” melainkan, “Nilai apa yang saya serap dari film ini? Apakah ia memperkaya akal dan jiwa saya, atau justru membiaskannya?”
Tugas Kolektif: Membangun Budaya Dialog
Kita perlu membangun budaya berpikir yang sehat dan adil. Berbeda pendapat adalah hal wajar. Namun, kemampuan menyikapi perbedaan dengan adab dan kebijaksanaan adalah bentuk kematangan intelektual sekaligus spiritual.
Kritik terhadap film, buku, atau ide tidak otomatis berarti kebencian. Menyukai sebuah karya bukan berarti harus membungkam semua kritik. Justru dalam ruang perbedaan itulah kebebasan berpikir tumbuh. Maka kita harus belajar untuk:
-
Tidak gampang tersulut oleh perbedaan.
-
Menyikapi pandangan lain sebagai bahan refleksi.
-
Membedakan antara kritik terhadap gagasan dan serangan terhadap pribadi.
Penutup: Upgrade Akal, Bukan Hanya Gadget
Di era ketika teknologi terus diperbarui, mungkin sudah saatnya kita memperbarui kapasitas berpikir kita. Literasi bukan hanya soal membaca dan mengakses informasi, tetapi soal bagaimana kita mencerna, menilai, dan meresponsnya. Kecerdasan sejati bukan hanya soal IQ atau kecepatan menyerap informasi, tetapi keberanian untuk berpikir jernih, adil, dan rendah hati.
Berpikir bukan hanya tugas akademisi, tetapi tanggung jawab seluruh warga negara. Karena dari cara kita berpikir, akan terbentuk cara kita bersikap. Dan dari cara kita bersikap, lahirlah wajah peradaban.