RumpiKota.Com— Gerakan Mahasiswa Hukum (GEMAH) melaporkan dugaan penyimpangan dalam proses perpanjangan konsesi pengusahaan jalan tol Cawang–Tanjung Priok–Ancol Timur–Pluit kepada PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung, Rabu (2/7/2025).
Ketua Umum GEMAH, Badrun Atnangar, menilai perpanjangan konsesi hingga tahun 2060 yang diberikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) itu melanggar prinsip tata kelola yang baik serta berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.
“Perpanjangan ini dilakukan tanpa evaluasi menyeluruh dan tanpa mekanisme lelang sebagaimana diatur dalam regulasi, padahal masa konsesi eksisting baru akan berakhir pada Maret 2025,” ujar Badrun di Jakarta.
Temuan tersebut merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester I Tahun 2024 yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan itu disebutkan bahwa pengembangan ruas tol Ancol Timur–Pluit oleh CMNP tidak sesuai dengan ketentuan dan dilakukan secara prematur.
Perpanjangan konsesi tersebut dituangkan dalam Akta Notaris No. 06 tanggal 23 Juni 2020, yang ditandatangani oleh Menteri PUPR saat itu dan pihak PT CMNP. Namun, berdasarkan Pasal 78 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2024, evaluasi baru dapat dilakukan satu tahun sebelum konsesi berakhir.
“Artinya, evaluasi dan perpanjangan baru sah secara hukum jika dilakukan setelah Maret 2024. Fakta bahwa hal ini dilakukan empat tahun lebih awal menunjukkan adanya pelanggaran prosedur,” ucap Badrun.
Selain persoalan waktu, GEMAH juga menyoroti potensi kerugian negara akibat perpanjangan tanpa lelang. Negara disebut kehilangan peluang untuk mengambil alih atau membuka kompetisi baru dalam pengelolaan ruas tol tersebut.
Badrun juga mengungkap adanya dugaan praktik manipulasi keuangan yang merugikan negara, antara lain biaya pemeliharaan jalan tol sebesar Rp 1,2 triliun yang dibebankan kepada APBN, serta setoran pendapatan CMNP yang hanya 1,5 persen dari pendapatan kotor—di bawah standar industri sebesar 3–5 persen.
Tak hanya itu, GEMAH juga menyoroti denda keterlambatan sebesar Rp 320 miliar yang tidak ditagih oleh BPJT serta potensi konflik kepentingan karena salah satu direktur CMNP merupakan mantan pejabat BPJT.
GEMAH mendasarkan laporannya pada sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, serta Pasal 2 dan 3 dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur soal kerugian negara dan penyalahgunaan wewenang.
“Kami meminta KPK dan Kejaksaan Agung segera melakukan audit investigatif dan menindaklanjuti dugaan korupsi, kolusi, serta suap dalam proses ini. Ini penting untuk menegakkan keadilan dan melindungi kepentingan negara,” tegas Badrun.
Pihak Kementerian PUPR, BPJT, dan PT CMNP belum memberikan tanggapan atas laporan ini saat dimintai konfirmasi.