RumpiKota.com – Jakarta – Di tengah laju perkembangan kuliner modern yang semakin pesat di ibu kota, satu nama kuliner tradisional tetap bertahan dan terus mencuri perhatian, terutama saat momen-momen budaya seperti Pekan Raya Jakarta: Kerak Telor. Makanan khas Betawi ini telah menjadi ikon kuliner Jakarta selama puluhan tahun, bahkan kerap disebut sebagai “makanan wajib” bagi para wisatawan yang ingin mengenal lebih dalam budaya lokal ibu kota.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kerak Telor bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari warisan budaya Betawi yang terus dijaga dan dilestarikan hingga hari ini.

Proses Tradisional yang Sarat Nilai Budaya
Salah satu hal paling unik dari Kerak Telor adalah cara memasaknya yang masih tradisional. Pedagang Kerak Telor umumnya menggunakan wajan kecil dari tanah liat yang diletakkan di atas tungku arang. Adonan telur bebek atau ayam dicampur dengan ketan putih, ebi (udang kering), dan kelapa parut sangrai, kemudian dimasak hingga bagian bawahnya kering dan garing, tanpa menggunakan minyak sedikit pun.

Yang menarik, ketika bagian bawah sudah matang, wajan akan dibalik untuk memanggang bagian atasnya langsung di atas bara api. Teknik ini tidak hanya memberikan tekstur garing yang khas, tetapi juga aroma asap yang membuat rasa Kerak Telor semakin menggoda.

“Kerak Telor itu punya sensasi rasa yang beda. Gurih, renyah, dan ada manis dari kelapa sangrainya. Jarang ada jajanan yang rasanya sedetail ini,” ujar Darto (42), salah satu pengunjung Monas yang rutin membeli Kerak Telor.

Makanan Rakyat yang Kini Jadi Simbol Budaya
Dahulu, Kerak Telor merupakan makanan rakyat biasa yang dijual oleh pedagang keliling di perkampungan Betawi. Namun kini, jajanan ini telah naik kelas menjadi simbol budaya Betawi. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari berbagai acara besar Jakarta, mulai dari Festival Budaya Betawi, Pekan Raya Jakarta, hingga perayaan HUT DKI.

Kawasan seperti Monumen Nasional (Monas), Kota Tua, dan Setu Babakan masih menjadi tempat populer untuk menikmati Kerak Telor. Para pedagang biasanya memakai pakaian tradisional Betawi lengkap, seperti baju sadariah dan peci, yang semakin menguatkan suasana budaya dalam setiap penyajiannya.

“Kalau makan Kerak Telor di Monas sambil lihat orang main musik gambang kromong, rasanya kaya balik ke masa lalu. Nostalgia banget,” kata Rini (29), warga Jakarta Timur.

Tantangan dan Harapan untuk Tetap Bertahan
Sayangnya, di tengah modernisasi dan menjamurnya makanan kekinian, eksistensi Kerak Telor sempat mengalami penurunan. Jumlah pedagang semakin sedikit, terutama karena generasi muda lebih memilih makanan yang cepat saji dan praktis. Namun, upaya pelestarian terus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan komunitas pecinta budaya Betawi.

Beberapa sekolah dan pusat budaya juga telah menjadikan Kerak Telor sebagai bagian dari materi pembelajaran budaya lokal. Bahkan, beberapa generasi muda mulai membuka kedai khusus Kerak Telor dengan kemasan modern untuk menarik perhatian anak-anak muda.

“Sekarang saya juga buka pesanan online buat Kerak Telor. Ternyata banyak juga yang kangen makanan ini tapi nggak tahu harus beli di mana,” ujar Pak Haji Sarman, pedagang Kerak Telor yang sudah berjualan lebih dari 25 tahun di kawasan Kota Tua.

Kuliner Unik yang Kaya Gizi
Selain unik dan lezat, Kerak Telor juga mengandung nilai gizi yang cukup tinggi. Telur bebek sebagai bahan utama mengandung protein dan lemak sehat. Ebi dan kelapa sangrai menambah kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi. Ditambah dengan nasi ketan yang mengenyangkan, jajanan ini bisa menjadi camilan berat yang cukup menyehatkan bila dikonsumsi dalam porsi wajar.