Site icon Rumpi Kota

Lidah Tak Bertulang: Pelajaran Komunikasi Pejabat dari Gejolak Pati

Demonstrasi Turunkan Bupati pati

RumpikotaCom – Siapa sangka, sebuah kebijakan fiskal bisa memicu gelombang protes terbesar dalam sejarah Kabupaten Pati?

Pada Mei 2025, Bupati Sudewo mengumumkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebesar 250%. Alasannya? PBB tak pernah naik selama 14 tahun, APBD sedang menyusut, dan dana tambahan dibutuhkan untuk infrastruktur dan pelayanan publik. Secara teknis, argumentasi ini mungkin masuk akal. Namun, dalam politik, cara menyampaikan sering lebih menentukan daripada apa yang disampaikan.

Masyarakat merasa kebijakan ini diputuskan secara sepihak, tanpa dialog yang memadai. Kekecewaan mulai membara, dan rencana unjuk rasa pun disusun.

Alih-alih mencoba meredakan suasana, Bupati justru melempar pernyataan yang dianggap menantang:

“Siapa yang akan melakukan penolakan? Yayak Gundul? Silakan lakukan. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang suruh ngerahkan. Saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan.”

Kalimat itu beredar cepat di media sosial. Bagi sebagian warga, ini bukan sekadar kebijakan pajak lagi, tetapi sebuah tantangan terbuka. Masyarakat menjawabnya dengan solidaritas: donasi logistik digalang, massa bersatu, dan aksi 13 Agustus 2025 ditetapkan sebagai hari turun ke jalan.

Menjelang aksi, Satpol PP mengangkut donasi logistik massa. Meski akhirnya dikembalikan, langkah ini dianggap sebagai upaya membungkam aspirasi. Emosi kian memanas. Bahkan ketika Bupati akhirnya membatalkan kenaikan PBB pada 8 Agustus 2025, gelombang kemarahan tak surut.

Mengapa? Karena publik merasa langkah itu terlambat dan dilakukan di bawah tekanan, bukan karena kesediaan mendengar dari awal.

Puncak di Alun-Alun Pati Aksi 13 Agustus menjadi sejarah. Ribuan warga memenuhi alun-alun, menuntut bukan hanya soal pajak, tetapi pengunduran diri Bupati, penolakan kebijakan lima hari sekolah, pembatalan renovasi alun-alun dan pembongkaran Masjid, penghentian proyek videotron. hingga pengembalian pegawai RSUD yang dipecat.

Ketika Bupati muncul dan meminta maaf singkat dari atas mobil taktis, massa merespons dengan lemparan botol dan sandal. Polisi membalas dengan gas air mata dan water cannon. DPRD pun membentuk Panitia Khusus dan mengaktifkan hak angket, membuka jalan bagi pemakzulan.

Bukan Soal Pajak, Tapi Soal Lidah

Pengamat komunikasi digital Yanuar CP menegaskan: masalah utama bukan semata kebijakan fiskal, tetapi pola komunikasi Bupati yang reaktif dan konfrontatif. Dari menantang rakyat untuk demo, menolak mundur, hingga menyebut gerakan massa sebagai upaya politis, setiap ucapan menjadi bensin yang menyiram api.

Dalam demokrasi, rakyat adalah tuan, pejabat adalah pelayan. Setiap kata yang keluar dari mulut pejabat publik bukan lagi milik pribadi, melainkan milik jabatan yang ia emban — dibayar dari uang rakyat sehingga ia harus sadar bagaimana ia berbicara kepada tuan-nya.

Komunikasi Bukan Sekadar Bicara

Era digital mengubah ekspektasi publik. Masyarakat kini menginginkan pejabat:

Responsif, tapi tidak reaktif — cepat merespons isu, namun dengan kepala dingin.

Egaliter, tapi tetap berwibawa — dekat dengan rakyat tanpa kehilangan rasa hormat.

Spontan, tapi terkontrol — bukan spontan yang meledak-ledak dan memicu kontroversi.

Pepatah mengatakan, “Lidah tak bertulang”. Ucapan mudah diucapkan, tetapi sulit ditarik kembali. Dalam politik, kata-kata bisa menjatuhkan lebih cepat daripada skandal keuangan lanjut Yanuar.

Gejolak di Pati adalah cermin bagi semua pejabat negeri ini: bahwa komunikasi publik bukan sekadar kemampuan berbicara, tetapi seni membangun kepercayaan. Kebijakan yang paling berat sekalipun dapat diterima bila disampaikan dengan empati, penjelasan terbuka, dan ruang dialog.

Krisis Pati mengajarkan kita bahwa di era keterbukaan informasi, pejabat yang gagal mengendalikan kata-katanya sedang menulis surat pengunduran dirinya sendiri — satu kalimat demi satu kalimat.

Tanggal Peristiwa Utama Dampak pada Publik
18 Mei 2025 Bupati Sudewo umumkan kenaikan PBB-P2 sebesar 250%. Masyarakat kaget dan mulai menunjukkan penolakan.
Mei–Juli 2025 Warga mulai mengorganisir diri, membuka donasi logistik untuk aksi. Solidaritas terbentuk, protes mulai terstruktur.
Awal Agustus 2025 Satpol PP mengangkut donasi logistik warga, kemudian mengembalikannya. Kemarahan meningkat, isu dianggap sebagai pembungkaman.
8 Agustus 2025 Bupati membatalkan kenaikan PBB setelah tekanan publik dan pemerintah pusat. Warga menilai pembatalan terlambat, aksi tetap dilanjutkan.
13 Agustus 2025 Demo terbesar dalam sejarah Pati, massa penuhi alun-alun dan Pendopo. Kericuhan terjadi, gas air mata dan water cannon digunakan, DPRD bentuk Pansus dan hak angket.

 

Kesalahan Bentuk Pernyataan Efek pada Publik
Tantangan Terbuka “Jangan hanya 5.000, 50.000 orang suruh ngerahkan. Saya tidak akan gentar.” Memicu kemarahan dan solidaritas lebih besar.
Respons Defensif Menyebut gerakan bermuatan politis yang ingin menjatuhkannya. Menggeser isu dari kebijakan menjadi sentimen personal dan politik.
Minim Empati Tidak ada pernyataan yang menenangkan atau mengakui keresahan publik di awal. Publik merasa diabaikan dan tidak didengarkan.
Pernyataan Spontan Tak Terkontrol Menjawab media dengan nada konfrontatif. Memperburuk citra, mempercepat hilangnya dukungan publik.

 

Pelajaran Komunikasi untuk Pejabat Publik

Exit mobile version