Oleh: Yanuar Catur Pamungkas
RumpiKotaCom – Kehadiran film animasi Jumbo merupakan angin segar di tengah lesunya kualitas moral dalam konten hiburan populer. Tak hanya sukses secara teknis, film ini juga menyuguhkan pesan karakter yang kuat—tentang persahabatan, keberanian, dan nilai tanggung jawab. Di tengah gempuran tayangan sensasional, Jumbo menjadi bukti bahwa tontonan yang mendidik dan bermutu masih punya tempat di hati publik.
Namun satu film tak cukup mengubah arah industri. Kita butuh lebih dari sekadar konten bagus. Kita butuh ekosistem kebaikan.
Selama ini, tayangan yang destruktif bisa terus eksis karena memiliki sistem pendukung: pasar yang loyal, promosi masif, dan distribusi yang lancar. Sebaliknya, film yang bermuatan nilai seringkali terpinggirkan karena minim dukungan, baik dari sisi kebijakan, pemasaran, maupun atensi publik.
Ekosistem kebaikan yang dimaksud bukan hanya soal produksi konten. Ia mencakup semua elemen: produser yang berani menyuarakan nilai, penonton yang cerdas memilih tontonan, negara yang hadir melalui regulasi dan insentif, media yang memberi ruang kritik-kajian yang membangun, hingga institusi pendidikan yang menjadikan media sebagai sarana pembelajaran karakter.
Tanpa itu semua, konten edukatif akan terus berjuang sendirian dalam pasar yang dikuasai algoritma klik bait dan rating. Padahal jika kita mau, kebaikan pun bisa bersaing. Jumbo membuktikannya.
Bayangkan jika sekolah-sekolah mulai memasukkan film seperti ini sebagai bahan ajar. Bayangkan jika media sosial lebih sering membicarakan konten yang mencerahkan. Bayangkan jika kita sebagai penonton, berhenti menjadi konsumen pasif dan mulai menjadi kurator kebaikan.
Karena pada akhirnya, kebaikan tidak bisa bertahan sendiri di ruang publik tanpa kita perjuangkan. Ia butuh dukungan, panggung, dan sistem. Dan semua itu dimulai dari kesadaran bahwa hiburan bukan cuma urusan selera, tapi juga cermin dari arah budaya bangsa.