RumpikotaCom – Kalimat pertama dari saya untuk film ini: “Film yang sangat manis.” Seperti film dengan genre drama romansa pada umumnya, film ini juga menitikberatkan pada perjuangan cinta yang diwarnai oleh konflik mengenai restu dan berbagai perbedaan. Namun, yang membuatnya istimewa dan mengesankan menurut saya bukan hanya karena diangkat dari kisah nyata, tetapi juga karena bagaimana tradisi, agama, dan budaya yang notabene berbeda (Bali vs Buton, Hindu vs Islam) disajikan dengan sangat halus. Tanpa kesan meninggikan atau merendahkan, membenarkan atau menyalahkan.
Bagaimana seorang Raim Laode, yang berasal dari keturunan bangsawan Buton dengan segala keterbatasannya, dan Komang Ade, seorang gadis Hindu perantau asal Bali yang taat, bisa saling jatuh cinta. Hubungan mereka terasa manis, mengalir begitu saja, namun pada akhirnya menghadirkan berbagai konflik yang sebenarnya mungkin sudah mereka sadari sejak awal bahwa pasti akan datang jua.
Menonton film ini akan membuat perasaan kalian diaduk-aduk—yup, seseru itu. Celetukan dan jokes ala stand-up comedy membuat adegan-adegan sedih memiliki nuansa komedi. Kalau ingin tahu rasanya menangis sambil tertawa, kalian wajib menonton film ini.
Namun, salah satu scene yang cukup menyentuh adalah ketika ayah Laode meninggal di tengah perjuangannya meniti karier di Jakarta. Disusul dengan kenyataan bahwa ibu dari sang kekasih telah menerima pinangan Arya (seorang pemuda Hindu) untuk Komang. Tidak ada tokoh ‘jahat’ di film ini. Semua tokoh menjalani perannya secara manusiawi dan senormal kehidupan pada umumnya. Misalnya, kekhawatiran Meme (panggilan ibu dalam bahasa Bali) jika Komang mengikuti jejak kakak perempuannya yang menikah dengan pria Muslim—lalu siapa yang akan mengurusnya secara adat saat ia meninggal nanti?
Satu lagi yang membuat saya terkesan adalah aktris pemeran Komang, yaitu Aurora Ribero, yang sangat fasih berbicara dengan logat Bali. Cantik sekali—senyumnya manis, sebagaimana gadis Bali pada umumnya. Usut punya usut, ternyata memang ia menghabiskan masa kecil hingga remaja di Bali. Ia adalah blasteran Italia dan Semarang.
Akting Keisha Alvaro sebagai Raim Laode juga bagus, saya harus mengakuinya. Meskipun banyak yang bilang ia terlalu ganteng dan tidak memiliki wajah ‘Timur’, menurut saya secara keseluruhan cukup berhasil. Andai kulitnya dibuat sedikit lebih gelap, mungkin akan lebih pas—setidaknya mendekati sosok Raim versi aslinya.
Akhirnya, saya tidak menyesal menonton film ini. Manisss sekali.
Rating versi saya: 8,5/10. Nice movie.