RumpiKota.Com- Untuk pertama kalinya dalam sejarah seni pertunjukan Sukabumi, teater musikal berjudul Tunggulah Aku di Gunung Parang (TADGP) dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, pada Kamis (15/5). Pementasan ini merupakan produksi dari kelompok seni Ngajagi Kreasi Nusantara, yang ditulis dan disutradarai oleh Den Aslam.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pertunjukan berdurasi sekitar satu jam ini mengangkat legenda Gunung Parang yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sukabumi.

Cerita berpusat pada kisah tragis cinta antara Nyi Pudak Arum dan Wangsa Suta, yang berlatar pada abad ke-16, tak lama setelah runtuhnya Kerajaan Pajajaran.

Meski berhasil menyelamatkan Nyi Pudak Arum dari tuduhan ilmu hitam, Wangsa Suta akhirnya kehilangan kekasihnya dan memutuskan untuk menunggu di Gunung Parang—lokasi yang kini dikenal sebagai wilayah Kota Sukabumi.

Menurut Den Aslam, cerita ini diadaptasi ke dalam bentuk musikal untuk memperkenalkan kembali kekayaan tradisi dan sejarah lokal kepada generasi muda.

“Saya berkomitmen untuk mengalihwahanakan cerita rakyat dan tokoh-tokoh sejarah ke dalam bentuk pertunjukan musikal agar generasi selanjutnya dapat mengenali identitas bangsanya,” ujarnya.

Pertunjukan ini melibatkan para aktor muda berbakat, seperti Ebho Ayey, Keyla Digail, Ica Deriza, dan Bella Ginting. Musik dan lagu digarap oleh Jamil Hasyani, sementara tari-tarian dikerjakan oleh Gaya Gita Studio arahan Raka Reynaldi.

Pementasan TADGP turut didukung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI serta berkolaborasi dengan Teaterindo dan Arsikarta Foundation.

Rio Kamase, selaku produser dan direktur Ngajagi Kreasi Nusantara, menyebut pentas ini sebagai tonggak penting bagi industri seni pertunjukan Sukabumi agar bisa menembus panggung nasional.

“Ini momentum bagi tumbuhnya industri seni pertunjukan di Sukabumi. Kami berharap dapat mementaskan TADGP di kota-kota lain agar bisa menjangkau masyarakat lebih luas,” kata Rio.

Pertunjukan ini juga mendapat respons positif dari penonton yang hadir, termasuk kalangan politisi, seniman, budayawan, hingga selebritas. Penonton tampak antusias dan beberapa kali memberikan tepuk tangan di sela-sela adegan.

Menariknya, pementasan ini juga menghadirkan sosok fiktif Nyai Kartini dan putrinya Louise ‘Arum’ de Wilde, yang berlatar abad ke-19. Keduanya menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kolonial, sekaligus memperkuat pesan budaya dalam pertunjukan.

Dengan pendekatan realis dan dialog puitis, Tunggulah Aku di Gunung Parang tidak hanya menghibur, tapi juga mengedukasi sekaligus merawat ingatan kolektif tentang akar budaya lokal.