RumpiKotaCom – Dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Sukarni sering kali disebut sebagai salah satu tokoh kunci yang berperan besar dalam mendorong proklamasi kemerdekaan. Ia adalah sosok muda penuh semangat yang berani mengambil langkah-langkah tegas pada saat krusial. Perannya dalam Peristiwa Rengasdengklok membuktikan bahwa generasi muda kala itu tidak sekadar menunggu perubahan, melainkan aktif memperjuangkannya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Sukarni dilahirkan pada tahun 1916 di Blitar, Jawa Timur. Sejak usia muda, ia sudah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap dunia pergerakan nasional. Semangat nasionalisme Sukarni tumbuh subur berkat pengaruh suasana politik saat itu yang penuh dengan semangat anti-penjajahan. Ia bergabung dengan berbagai organisasi kepemudaan seperti Indonesia Muda dan Persatuan Pemuda Republik Indonesia, yang menjadi lahan subur bagi pembentukan karakter nasionalisnya.

Namanya mencuat terutama karena keterlibatannya dalam peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Saat itu, suasana di Jakarta sangat tegang setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu. Para pemuda merasa momen itu harus segera dimanfaatkan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, Soekarno dan Hatta—dua tokoh sentral bangsa—masih mempertimbangkan langkah-langkah diplomatis dan berhati-hati terhadap situasi.

Melihat keraguan itu, kelompok pemuda yang dipimpin Sukarni, bersama Chaerul Saleh, Wikana, dan lainnya, mengambil inisiatif. Mereka “membawa” Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, sebuah daerah kecil di Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan untuk “mengamankan” kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang dan mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan pihak asing.

Peristiwa ini memperlihatkan betapa besar rasa urgensi yang dimiliki oleh generasi muda waktu itu. Bagi Sukarni dan rekan-rekannya, menunda kemerdekaan berarti memperbesar risiko Indonesia jatuh ke tangan kekuasaan asing lainnya. Mereka ingin memastikan bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan rakyat Indonesia sendiri, bukan pemberian dari bangsa lain.

Setelah melalui berbagai perdebatan dan tekanan, akhirnya Soekarno dan Hatta menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan. Sukarni pula yang mengusulkan agar teks proklamasi hanya ditandatangani oleh dua orang saja—Soekarno dan Hatta—atas nama bangsa Indonesia, bukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dicurigai para pemuda sebagai “dibentuk Jepang”. Usulan ini diterima, dan menjadi salah satu keputusan penting yang mengukir sejarah bangsa.

Setelah kemerdekaan, Sukarni tidak berhenti berkontribusi untuk negara. Ia terlibat dalam berbagai aktivitas politik dan pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Sikapnya yang tegas dan idealis kadang membuatnya berselisih dengan pihak-pihak yang menurutnya mulai menyimpang dari semangat perjuangan awal kemerdekaan.

Sukarni wafat pada 7 Mei 1971 di Jakarta. Meskipun namanya mungkin tidak sepopuler para tokoh besar lainnya, perannya dalam proses kemerdekaan Indonesia tak bisa diabaikan. Atas jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2002.

Kisah Sukarni mengajarkan kepada kita bahwa perubahan besar sering kali lahir dari keberanian generasi muda. Semangatnya yang pantang menyerah, keyakinannya terhadap kedaulatan bangsa, serta keberaniannya untuk bertindak dalam momen genting menjadi inspirasi yang relevan hingga hari ini.

Dalam setiap momen memperingati kemerdekaan, nama Sukarni layak disebut, sebagai pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil dari satu suara saja, melainkan dari keberanian banyak suara—termasuk suara anak muda yang menolak untuk hanya diam menunggu.