Kalau Kartini hidup hari ini, mungkin dia nggak cuma nulis “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Dia mungkin akan nulis:
“Habis Manual, Terbitlah Otomasi.”
“Habis Ketimpangan, Terbitlah Kolaborasi Manusia & Mesin.”
Bro, Kartini itu bukan sekadar simbol perempuan berkebaya yang memperjuangkan hak belajar.
Beliau itu simbol dari orang yang berani bertanya, berani melawan sistem yang membatasi potensi.
Dan hari ini, pertanyaannya berubah:
Bukan lagi “bolehkah perempuan sekolah?” Tapi “siapa yang bisa belajar lebih cepat—manusia atau mesin?”
Teknologi—terutama AI—itu bukan musuh.
Yang jadi bahaya adalah kalau kita nggak siap.
Kalau kita masih sibuk berdebat soal posisi, gelar, atau jabatan,
sementara AI udah bisa bikin pitch deck, nganalisis pasar, bahkan bantu ngurusin customer 24/7.
Emansipasi zaman sekarang itu bukan soal menuntut hak, tapi berani beradaptasi.
Bukan soal persamaan, tapi soal kesempatan belajar dan bertumbuh—untuk semua orang.
Dan ya, AI justru bisa jadi jalan pembebasan yang baru.
Bayangin kalau Kartini dulu punya akses ke ChatGPT.
Dia bisa ngelobi Belanda pake data.
Dia bisa publish surat-suratnya ke seluruh dunia lewat Medium.
Dia bisa ngajarin ribuan perempuan lain lewat YouTube, podcast, atau microlearning.
Kartini masa kini bukan lagi yang memperjuangkan hak untuk baca.
Tapi yang belajar nulis prompt.
Yang berani kolaborasi dengan AI, bukan bersaing dengan mesin.
Karena masa depan bukan milik yang paling pintar.
Tapi milik mereka yang paling adaptif.
Sam Ipoel
Shankara Cipta AI
Inbound Marketing + AI