RumpikotaCom – Al Fahmu Institute kembali menggelar Kajian Bulan Strategis pada hari Ahad, 18 Mei 2025, dengan mengusung tema “Baitul Maqdis Spring: Akankah Al-Aqsha Menyusul Masjid Aya Sofia dan Umawi dalam Kemerdekaan?”. Dalam kesempatan ini, dua narasumber yang memiliki keahlian di bidangnya hadir memberikan pemaparan: Dr. Pizaro Ghozali Idrus, Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute sekaligus pengamat geopolitik Timur Tengah, serta Achmal Junmiadi, SE., MBA, pembina Persahabatan Islam Utsmani. Kajian ini dipandu oleh Ustaz Fahmi Salim, Lc., MA, selaku moderator dan pendiri Al Fahmu Institute.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Dalam pengantar pembuka, Ustaz Fahmi Salim menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah, terlebih pasca kunjungan Donald Trump ke Suriah. Beliau memunculkan pertanyaan krusial: apakah pertemuan tersebut merupakan sinyal harapan baru bagi perjuangan Palestina, atau justru memperburuk kondisi, khususnya di tengah tragedi kemanusiaan dan genosida yang masih berlangsung di Gaza.

Beliau menekankan bahwa perkembangan politik kawasan tidak boleh dilihat secara permukaan semata, sebab perubahan yang terjadi menuntut umat Islam untuk lebih cermat dalam membaca arah serta konstelasi kekuatan global. Menanggapi isu kunjungan Donald Trump ke Suriah, Ustaz Fahmi menegaskan bahwa pertemuan dengan Ahmad Shara’, pejabat tinggi Suriah, bukanlah langkah menuju normalisasi dengan entitas Zionis, tetapi lebih pada ikhtiar Suriah untuk melepaskan diri dari jeratan sanksi ekonomi yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Ia menegaskan bahwa langkah ini bersifat pragmatis dan tidak dapat dianggap sebagai kompromi terhadap prinsip ideologis umat Islam.

Dalam pemaparannya, Dr. Pizaro Ghozali Idrus menyoroti transformasi lanskap global dari era unipolar yang didominasi Amerika Serikat menuju konfigurasi multipolar, di mana Tiongkok kini tampil sebagai kekuatan penyeimbang yang semakin dominan. Menurutnya, konflik-konflik regional, seperti antara India dan Pakistan, tidak lagi dapat dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan global antara blok Barat dan Timur.

Ia menilai bahwa kehadiran Trump di Timur Tengah lebih didorong oleh kepentingan ekonomi dan investasi ketimbang niatan tulus menciptakan perdamaian. Dalam konteks ini, kekuatan Islam seperti Hamas menunjukkan peningkatan kemampuan dan ketahanan dalam menghadapi agresi Israel, sebuah realitas yang menurutnya tidak boleh diabaikan.

Lebih lanjut, Pizaro mengkritisi kebijakan ekonomi sejumlah negara Arab yang justru melakukan investasi besar-besaran kepada entitas dan korporasi yang memiliki afiliasi erat dengan kepentingan Zionis. “Ketika dana umat Islam digunakan untuk membeli produk dari perusahaan-perusahaan yang pro-Zionis, hal ini seharusnya tidak melemahkan semangat kita dalam mendukung gerakan BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi). Justru kondisi ini menjadi dorongan kuat bagi umat untuk semakin meningkatkan kesadaran kolektif dalam melawan dominasi ekonomi Zionis melalui gerakan yang terstruktur dan konsisten,” ujarnya dengan tegas.

Sementara itu, Achmal Junmiadi mengulas secara mendalam peran strategis yang dimainkan oleh Turki dalam perjuangan pembebasan Baitul Maqdis. Ia menyoroti visi politik Presiden Recep Tayyip Erdogan yang berlandaskan semangat Neo-Ottomanisme, di mana pembebasan Masjid Al-Aqsha diposisikan sebagai kelanjutan dari keberhasilan mengembalikan status Masjid Aya Sofia sebagai tempat ibadah umat Islam.

Menurut Achmal, sinergi antara Turki, Suriah, dan Qatar dalam ranah militer dan diplomatik merupakan indikator positif munculnya poros kekuatan baru di Timur Tengah yang memiliki komitmen nyata terhadap perjuangan Palestina. Ia menekankan bahwa Turki saat ini tidak sekadar mengeluarkan pernyataan, tetapi juga telah menunjukkan tindakan konkret, seperti memberikan dukungan kepada Hamas, menyelenggarakan pendidikan bagi pemuda Palestina, serta merancang strategi pertahanan regional yang solid.

“Turki bukan hanya bicara, tetapi juga bergerak. Ini bukan simbolisme, melainkan bentuk aksi nyata dalam menyusun kembali keseimbangan kekuatan di kawasan,” tegas Achmal.

Dari keseluruhan kajian, dapat disimpulkan bahwa pembebasan Masjid Al-Aqsha bukan hanya sekadar seruan spiritual atau emosional, tetapi membutuhkan pendekatan strategis yang terukur. Ini mencakup analisis geopolitik yang mendalam, konsolidasi kekuatan umat, serta kesadaran kolektif untuk menyatukan visi dan langkah dalam membela hak-hak rakyat Palestina dan memerdekakan tanah suci umat Islam.

Al Fahmu Institute menegaskan komitmennya untuk terus menjadi garda terdepan dalam pengawalan isu-isu strategis dunia Islam melalui forum kajian, diskusi akademik, dan program pendidikan yang mencerdaskan umat.