RumpiKotaCom – Di tahun 2025, perhatian terhadap kesehatan mental di Indonesia benar-benar meningkat drastis. Masyarakat mulai paham bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Banyak orang sadar, stres, kecemasan, dan tekanan sosial bisa berdampak besar ke kehidupan sehari-hari kalau nggak ditangani dengan benar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

 

Salah satu hal yang paling disorot adalah hubungan antara penggunaan teknologi dengan kesehatan mental. Dengan aktivitas online yang makin padat dari kerja, kuliah, hiburan, belanja, sampai interaksi sosial banyak orang merasa lelah secara mental. Inilah yang bikin tren digital detox makin populer.

 

Digital detox berarti orang secara sadar mengurangi waktu mereka di depan layar gadget. Ada yang atur jam khusus buat buka media sosial, ada yang pilih liburan ke tempat yang jauh dari sinyal, bahkan ada yang sengaja hapus aplikasi-aplikasi yang bikin stres. Tujuannya satu: mengistirahatkan otak dari paparan informasi yang berlebihan.

 

Beberapa komunitas urban bahkan mulai rutin ngadain program seperti “Weekend tanpa Gadget” atau “Silent Retreat,” di mana peserta diminta untuk tidak menggunakan handphone selama beberapa hari. Hasilnya, banyak peserta mengaku merasa lebih rileks, tidur lebih nyenyak, dan pikiran lebih jernih setelah mengikuti program ini.

 

Selain itu, platform-platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube juga mulai menyediakan fitur pengingat waktu layar (screen time reminder) supaya pengguna lebih sadar waktu online mereka. Banyak influencer mental health di Indonesia aktif mengkampanyekan pentingnya menjaga jarak sehat dengan dunia digital.

 

Klinik dan layanan konsultasi psikologi juga makin ramai. Sekarang sudah banyak layanan konseling online yang affordable dan gampang diakses. Beberapa kampus dan perusahaan bahkan mulai menyediakan layanan konseling gratis untuk mahasiswa dan karyawan, menunjukkan betapa seriusnya perhatian terhadap kesehatan mental.

 

Muncul juga kebiasaan-kebiasaan baru di kalangan anak muda, seperti meditasi harian, journaling, mindfulness practice, dan olahraga ringan seperti yoga dan jalan santai. Aktivitas ini dianggap ampuh untuk menjaga emosi tetap stabil dan mengurangi kecemasan yang sering dipicu dunia digital yang serba cepat.

 

Pemerintah dan media massa turut mendukung gerakan ini. Beberapa kementerian mulai mengkampanyekan hari tanpa gadget di sekolah-sekolah, serta menyebarkan materi edukasi tentang cara mengenali tanda-tanda stres dan depresi.

 

Tapi, tantangan tetap ada. Tidak semua orang mampu langsung keluar dari kebiasaan multitasking digital. Ada juga kekhawatiran soal FOMO (fear of missing out) kalau terlalu lama “puasa” dari media sosial. Maka itu, banyak ahli menyarankan pendekatan bertahap, seperti mulai dari satu jam sehari tanpa gadget, lalu naik jadi beberapa jam, sampai akhirnya terbiasa.

 

Kalau dulu kesehatan mental sering dianggap tabu untuk dibahas, sekarang justru jadi pembicaraan sehari-hari. Banyak orang yang lebih terbuka untuk cerita tentang pengalaman mereka menghadapi burnout, anxiety, atau tekanan sosial, tanpa takut dicap lemah.

 

Tahun 2025 benar-benar menunjukkan perubahan besar: menjaga kesehatan mental dan membatasi ketergantungan pada dunia digital bukan cuma pilihan, tapi kebutuhan.