RumpiKotaCom – Netizen itu, ya, memang penuh warna. Ada yang lucu, ada yang puitis, ada juga yang… ya, begitulah. Tapi di antara semua keunikan itu, ada satu pola yang sering bikin kepala kita pengin nyender ke tembok sambil mikir keras: cara berpikir sebagian netizen yang dangkal.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Netizen Kebanyakan (Part 2)

Kenapa saya bilang begitu? Begini, setiap kali kita mengkritik sesuatu, bukannya diskusi jadi terbuka, eh, malah langsung dicap sebagai lawan atau musuh dari sesuatu yang kita kritik itu. Nggak ada ruang buat “mungkin dia cuma ingin memperbaiki” atau “mungkin ini pandangan lain”. Pokoknya, kritik = benci.

Contohnya begini. Misalnya kita mengkritik Figur A. Niatnya sih, sederhana, ingin memberi masukan atau menyampaikan perspektif yang berbeda. Tapi apa yang terjadi? Para penggemar Figur A langsung menganggap kita ini musuh bebuyutan, hater garis keras, atau bahkan agen Figur B. Padahal, lha wong kita cuma beropini. Nggak ada niat apa-apa selain berbagi sudut pandang.

Sebaliknya, kalau kita, katakanlah, membela Figur A yang diserang habis-habisan oleh fans Figur B, otomatis fans Figur B langsung menunjuk kita sebagai tim hore-nya Figur A. Seakan-akan netralitas itu mitos dan objektivitas itu dongeng sebelum tidur. Apa-apa kudu milih kubu. Pokoknya kalau bukan “kita”, ya berarti “mereka”. Selesai urusan.

Jadi, di mana ruang buat objektivitas? Di mana ruang buat netralitas? Dan, yang lebih penting, di mana ruang buat mencari kebenaran? Nggak ada. Kebenaran itu sudah punya pemilik. Dan pemiliknya adalah kelompok masing-masing. Diskusi komprehensif? Apa itu? Boro-boro.

Lalu, masalahnya nggak berhenti di situ. Pola pikir seperti ini, yang serba sempit dan biner, ternyata gampang banget dimanfaatkan. Siapa yang memanfaatkan? Ya, politisi, tentu saja. Ketika pemilu tiba, orang-orang dengan cara berpikir seperti ini adalah target empuk buat propaganda. Tinggal tambahkan sedikit bumbu narasi, dan boom! Mereka termakan dengan mudah.

Jadi, kalau saya bilang ada sebagian netizen yang berpikir dangkal, ya, itu bukan asal ngomong. Fakta-faktanya berserakan di mana-mana. Dari diskusi politik yang nyaris selalu jadi debat kusir, sampai ke komentar-komentar di media sosial yang bikin kita geleng-geleng kepala.

Lalu, apa solusi buat ini? Ah, itu pertanyaan lain lagi. Tapi yang jelas, sambil menunggu pencerahan itu datang, izinkan saya duduk sejenak, minum kopi, dan menonton dari jauh sambil bertanya-tanya: kok ya ada yang begitu?

Reporter: adminkota