Pada momen hari Ibu, aku teringat kisah sederhana, perihal yang biasa ibuku lakukan pada Bapakku, mungkin hal sederhana itulah yang membuat hubungan mereka awet sampai maut memisahkan, misal saat Bapak baru pulang ke rumah, Ibu selalu sediakan air minum hangat buat Bapak (kadang teh, kadang bening) dengan gelas khusus kesayangan Bapak.
Dalam urusan makanan, Bapak itu paling pantang ambil nasi, lauk atau sayuran masih di panci, pamali. Jadi ibuku yang paham betul itu meski setelah lelahnya berjualan dipasar, meski pendapatannya yang jauh lebih besar, tapi tetap jadi Istri, jadi Ibu yang baik, semua masakan beliau masak sendiri tanpa mengeluh lelah dan semua makanan sudah terhidang rapih di meja makan, jadi Bapak dan anak-anak tinggal ambil saja.
Bahkan dulu ketika Bapak masih jadiĀ sopir taksi dan Ibu berjualan dipasar dengan penghasilan yang jauh lebih besar itu, ibu selalu menjaga Bapak, contohnya ketika Bapak baru pulang sehabis menjadi sopir taksi kerja malam, ibu selalu minta ke anak-anaknya jangan masuk kamar dan jangan berisik diluar biar Bapak bisa istirahat tenang.
Dalam kultur masyarakat Indonesia tempo dulu seperti itu hal biasa ya Bund. Seperti itulah peranan Ibu, mereka tidak pernah minta persamaan hak, para ibu tidak pernah mengeluh meski saat itu harus berperan ganda, mencari uang membantu ekonomi keluarga dan menjadi ibu rumah tangga, sebab mereka tau bahwa ridho suaminya adalah pintu syurganya, agama jadi kuncinya.
Melihat angka perceraian saat ini, nasihat untuk para ibu muda semoga bisa mengambil hikmah atau pelajaran dari kisah ibu biasa tempo dulu ini, tidak perlu merasa gengsi melayani suami, meski penghasilan lebih tinggi. Turunkan ego jangan merasa direndahkan apalagi merasa dijadikan pembantu ketika berbhakti pada suami, kalau paham ilmunya semua akan indah pada waktunya ya Bund.